Jumat, 30 November 2012

Pertemuan Kembali


Pertemuan Kembali
Di hari sabtu yang cerah aku membereskan semua barang-barangku dan aku menemukan sebuah box cantik berwarna pink, “ini terakhir kalinya aku mengenang semua masa laluku bersamanya karena esok aku akan memulai hidup baruku di kota yang baru” ucapku.
Benarkah keputusan yang kuambil ini? Aku bertanya dalam hati. Namun, bila ingat kilasan-kilasan peristiwa menyakitkan itu, rasanya tak ada yang salah dengan keputusanku ini. Tidak. Aku tidak mau kembali ke sana lagi. Aku ingin pergi membuka lembaran baru!
Diam-diam, aku pun berharap, semoga ada seseorang yang menelepon dan memintaku untuk membatalkan kepergianku ini. Itu hanya ada dalam khayalanku. Bagaimana mungkin aku bisa mengharapkan Febry akan menghubungiku, bila ia memikirkanku saja tidak pernah? Toh, dia sudah berbahagia dengan wanita itu... siapa namanya? Ah, sudahlah.

           Tiba di Sumatra, aku mencari Mas Moko. Tak kulihat sosoknya di ruang tunggu. Tak ada tulisan berisi namaku di deretan para penjemput. Aduh, bagaimana ini? Satu per satu penumpang yang sepesawat denganku mulai beringsut meninggalkan bandara. Tiba-tiba dari kejauhan kulihat sebuah mobil besar yang warnanya sudah tak keruan, saking banyaknya lumpur yang melekat di badan mobil. Mobil itu berjalan ke arahku dan ketika sudah tiba di depanku, seorang pria melompat turun. Tingginya kira-kira 175 cm dengan berat 65 kg dan berkulit sawo matang. Wajahnya lumayan manis sebetulnya, seandainya dia mau melepas kacamata hitamnya yang sudah ketinggalan zaman itu.
”Maaf, apakah Anda Tiwi?” tanyanya padaku. ”Ya,” kuanggukkan kepala. Mas Moko tidak bisa menjemput. Ada keadaan darurat di markas. Jadi, dia menyuruh aku menjemputmu,” ia menjelaskan. Oh, begitu. Ia sama sekali tak meminta maaf atas keterlambatannya. Aku pun naik dan duduk di sebelahnya. Ia langsung menyalakan mesin mobilnya. Dengan satu sentakan dahsyat mobil itu melompat ke depan... benar-benar melompat, sebelum akhirnya berjalan menyusuri jalanan di depannya. Ia sama sekali tak meminta maaf atas insiden barusan! Ugh! Benar-benar pengemudi yang tak kenal sopan santun dan tak tahu cara memperlakukan wanita rupanya!
Pagi hari aku terbangun oleh kicauan burung. Tubuhku masih terasa penat, setelah seharian kemarin menempuh perjalanan jauh dengan makhluk paling menyebalkan di dunia.          Mas Moko sedang duduk mengopi di ruang kerjanya, saat aku menemuinya. ”Bagaimana tidur semalam? Kuharap nyamuk-nyamuk hutan tak mengganggumu,” sapa Mas Moko, begitu melihat kemunculanku. ”Enggak, kok, Mas. Aku tidur kayak orang mati semalam.” Aku duduk di dekatnya. Tidak kulihat sosok makhluk menyebalkan itu. Di mana dia? Hei, kok, aku jadi penasaran padanya, ya? Ah, sudahlah. Buat apa memikirkan orang-orang yang membuat hati jengkel?
Mahesa masuk ruangan mas moko : “ mas Ada aksi penyelundupan binatang yang berhasil digagalkan petugas!”. Pelakunya ditangkap dan sekarang landak hutan ada di kantor polisi. “Apakah kamu mau ikut wi? Klo ikut cepat aku tunggu di mobil”, Ucap Mahesa. ”Memang dia itu siapa, sih, Mas?” tanyaku, tak dapat menyembunyikan rasa penasaranku.
”Kamu belum berkenalan dengan dia? Ya, ampun, kupikir kalian sudah berkenalan. Dia itu dokter hewan yang bertugas di sini! Bukan karyawan tetap, sih. Dia senang di sini, karena tempat dan kesibukan di sini menjadi terapi baginya untuk melupakan masa lalunya yang pahit. Tunangannya meninggalkannya demi pria lain yang jauh lebih kaya,” kata Mas Moko.
Oh... aku manggut-manggut. Jadi, dia dokter hewan? Jadi, dia pernah disakiti wanita? Pantas, dia sekasar itu!
Aku masuk ke mobil. Mahesa menyetir seperti kesetanan. Dua petugas polisi tersenyum ramah pada mahesa, saat kami tiba di kantor polisi. ”Di mana, Mas, sitaannya?” tanya Mahesa. ”Masuk saja, Mas. Pak Komandan tadi yang bawa!” . Di dalam aku membaca nama yang tercantum, AKP Febry Samyoputro. Benarkah? Ah, tapi kan banyak orang yang namanya mirip! Aku berusaha menghibur diriku sendiri dan melangkah masuk. Aku terpaku. Kalau nama mirip, bisa kumaklumi. Tapi, mungkinkah ada dua manusia di muka bumi ini yang serupa benar, padahal bukan kembarannya? Rasanya, tidak! Rasanya, yang kulihat di sana itu adalah hantu masa laluku, yang bangkit kembali dari kuburnya. Kapten Febry! Ya, bagaimana aku bisa lupa nama dan sosok itu? Rasanya, aku ingin kembali ke Jakarta. Bagaimana mungkin, di tempat yang kukira aman dari jeratan masa laluku ini, aku justru bertemu dengan pria yang sosoknya hingga kini belum bisa kuhapus sepenuhnya dari ingatanku!

             ”Hei, masuk!” katanya, Begitu Mahesa duduk, dia menoleh. Detik itu juga kurasakan seluruh waktu dan momen yang ada membeku. Hanya aku, dia, dan kilasan-kilasan masa lalu yang pernah terajut di antara kami berdua. ”Halo, apa kabar? Ternyata dunia tak selebar daun kelor, ya?” sapaku, berusaha riang. ”Baik. Kamu?” terbata dia menjawab sapaanku.

”Seperti yang kau lihat. Baik!” aku mengangguk. Mahesa menatapku heran. ”Kalian sudah saling kenal?” ”Begitulah. Ketika masih di Jakarta dulu,” kataku, sambil menjaga agar suaraku tak terdengar bergetar. Padahal, aku ingin sekali menangis! Tuhan... tolonglah aku!
Selanjutnya, mereka terlibat dalam obrolan tentang binatang yang dilindungi itu dan proses pengembalian kembali ke habitat aslinya. Setelah itu, Mahesa pamit.
Esok harinya, saat aku memberi makan Rimba, tiba-tiba Febry menghampiriku. Tampil tanpa seragam dinasnya, membuatnya terlihat lebih bersih, muda, dan mentereng. Sepertinya, dia tak cocok berada di tengah belantara seperti ini! Dia tersenyum dan menyapaku. Aku tak tahu harus berkata apa. Entah kenapa, aku seperti orang yang tersihir. Mungkinkah, pertemuanku ini merupakan jawaban Tuhan atas doa-doa yang kupanjatkan tiap malam selama ini? Mungkinkah justru di pedalaman Sumatra ini aku menemukan sebentuk cinta sejati? Bagaimana bila cinta itu dibawa oleh seorang Febry? Bisakah aku memercayakan kembali hatiku padanya?
Kamu di sini sedang undercover atau bagaimana?” tanya Febry. ”Enggak. Aku memang bekerja di sini.” ”Kerja? Lalu, pekerjaanmu di Jakarta bagaimana?” tanyanya.
”Aku tinggal.” ”Pekerjaan seenak itu kaulepas begitu saja demi pekerjaan seperti ini?” tanyanya, setengah tak percaya. ”Kamu sendiri, ngapain di tempat seperti ini?” tanyaku.
”tiwi, tiwi... seperti tidak tahu saja. Aku ini abdi negara. Jadi, di mana pun aku ditempatkan, aku harus patuh!” ujarnya. Hening. Aku kehabisan bahan bicara.
”Maafkan kekhilafanku di masa lalu, wi. Aku menyesal. Tapi, aku benar-benar khilaf waktu itu!” ujarnya tiba-tiba, dengan suara lirih. Aku tertegun. Hatiku tergerak untuk menanyakan nasib wanita itu. Namun, mulutku tak sampai hati menanyakannya. ”Aku sudah memaafkanmu dari dulu. Sudahlah, lupakan saja!” Hanya itu yang meluncur dari mulutku.
“Aku melakukan semua itu bukan karena aku hanya ingin serius belajar, dan niatnya setelah aku selesai pendidikan aku akan menikah”, ucap febry. “Iya aku sudah tau bahwa dalam waktu dekat kamu akan menikah, siapah tunanganmu itu? Apakah aku mengenalnya?”, ucapku. “Orangnya adalah kamu”, ucapnya sambil tersenyum. “Aku tidak suka dengan leloconmu barusan”. Ucapku. Lihat mataku, “apakah menurutmu aku sedang bercanda padamu? Aku sangat serius mengatakan ini. Mungkin dulu kau salah mengerti karena memang dulu kita hanya sebentar membahas masalah ini karena aku harus mempersiapkan segalanya untuk pendidikan”, jelasnya. Aku hanya terdiam dan berpikir apakah yang harus aku lakukan. “Dua bulan lagi aku pindah tugas ke jakarta, apakah kamu mau ikut kembali ke jakarta dan mempersiapkan pernikahan kita?”, ucap febry. “Iya aku mau ikut ke jakarta denganmu”, ucapku. “Terimakasih kamu mau menerimaku kembali, aku sangat senang sekali”, ucap Ardi.
Aku tidak menyangka inilah akhir ceritaku. Ternyata dunia ini sempit, mau aku pergi sejauh apapun dan kemana pun tetapi apabila dia adalah jodohku maka aku akan bertemu dengannya. Aku harap dia adalah yang terbaik untukku dan semoga aku bisa bersamanya selamanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar